Anak itu masih terlalu kecil untuk mengerti

Siang tadi sepulang aku analisa on the spot dari agunan salah satu calon nasabahku, bersama staf dan sopir kami sepakat singgah sejenak di Kota Gianyar untuk makan siang. Saat masuk ke warung makan itu ada seekor anjing buduk yang tengah tertidur dipojokan dengan bulunya yang merangas jarang. Refleks ku menutup hidung dari bau anjing itu dan untungnya pemilik warung tanggap dan menyuruh anak buahnya mengusir anjing tersebut.

Sembari menunggu nasi ayam bakar yang kami pesan, kami berdiskusi membicarakan keadaan agunan yang barusan kami lihat. Di sela-sela diskusi itu di sudut mataku aku menyadari kedatangan seorang ibu muda bersama 3 anaknya, anaknya yang paling besar, perempuan, kusimpulkan dari postur tubuhnya yang lebih tinggi dari adik laki-lakinya. Kisaran umur mereka berdua mungkin 6 s/d 9 th namun yang menarik perhatianku bukanlah mereka, tapi pada bayi di pelukan ibu itu, mungkin dia masih berusia sekitar 7-8 bulan.

Ibu itu terduduk di pintu masuk warung, sementara kedua anaknya berlarian meminta-minta pada setiap orang yang melewati mereka, kupikir biarlah, nanti saja mereka kuberikan permen kini perhatianku seperti tersita pada bayi yang kini telah bangun dari gendongan ibunya itu. Kenapa yah ibu itu begitu tega menyiksa bayi sekecil itu berpanas-panas, dari tempat yang satu ke tempat yang lain untuk meminta-minta? Membiarkan bayi sekecil itu dikontaminasi dengan asap dan debu.

“Permisi, silahkan pak dinikmati” pesanan kami sudah datang, hmm… baunya, pantas saja warung ini nggak pernah sepi dari orang kelaparan *ya iya lagee!, namanya orang lapar ya ke warung makan, masak ke toko bangunan* Setelah di piringku yang tersisa hanya tulang ayam dengan sisa sambal. Sekali lagi mataku berpaling ke bayi itu. Dia didudukan di bawah berkalang tanah oleh ibunya lalu ditinggal meminta-minta bersama dua anaknya yang lain.

Sempat dia menoleh ibunya sejenak kemudian kembali dia asyik bermain dengan gelas plastik bekas air mineral mengaduk-aduk pasir di sekitar kakinya. Mungkin sudah bosan, dia buang gelas itu dan mulai merangkak naik, iya dia merangkak masuk ke dalam warung lalu kembali duduk dibawah salah satu meja yang terletak di depan. Kemudian kembali asik bermain sendiri.

Jujur, mungkin karena merasa aku memiliki anak yang sepantaran dengan si kecil itu, hatiku serasa disilet membayangkan bila Bagus yang berada di posisi itu. Haru karena meski dengan kekurangan orang tuanya dia masih bisa bermain ceria, haru karena dia bisa tertawa dengan “mainan” ciptaannya sendiri dari apapun yang ditemukannya.

Seorang anak perempuan berpakaian seragam SD datang menghampirinya lalu jongkok di sampingnya. Karena jarak kami yang cukup jauh aku tidak mendengar entah ada tidaknya percakapan diantara mereka, yang kulihat hanyalah si kecil masih tetap asyik dengan kesendiriannya.

Datang kembali seorang ibu yang lain, dengan kasarnya dia menarik anak perempuannya untuk menjauh dari si kecil. Si anak menolak namun power does matter, anak perempuan itu mengalah digendong ibunya dengan sambil menangis.

“Aku masih ingin bermain” mungkin itu yang bisa kuterka di dalam isak tangisnya, sementara si kecil yang mungkin ikut terkaget pun ikut menangis. Sepertinya seluruh mata yang ada di dalam warung itu tertuju ke bawah meja itu.

“Duh, kemana ibunya itu? Tega sekali ninggalin anaknya kayak gitu” umpat temanku.

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Dia mengumpat karena dia hanya mengikuti akhir cerita, yang dia tahu adalah si kecil itu sendiri dan menangis. Dia tidak mengikuti saat-saat dimana si kecil mengaduk pasir, si kecil merangkak ke bawah meja. Dia tidak mengetahui saat dimana anak perempuan itu mendekati dan jongkok di samping si kecil, berusaha mengajaknya bercanda meskipun si kecil tetap asik bermain sendirian dan dia tidak melihat bagaimana si ibu memisahkan dengan paksa mereka berdua seakan si kecil adalah kaum terbuang.

Mereka hanya ingin bermain, hanya itu yang mereka tahu. Mereka berdua tak perduli sekaya atau semiskin apa mereka sepanjang mereka masih bisa bermain.

Si kecil itu pun dijemput ibunya lalu digendongnya pergi dari tempat itu sembari matanya melihat kami semua yang ada di dalam warung dan bersungut-sungut, mungkin pikirnya kamilah yang membuat anaknya menangis, mungkin pikirnya kami menajiskan anaknya untuk bermain disana.

Sepulang dari sana, di perjalanan aku mencoba untuk kembali bertanya pada diriku sendiri. “Akankah aku nanti akan seperti orang tua anak perempuan itu?” Memilihkan Bagus, anak-anak yang hanya pantas untuk dijadikan teman sepermainannya. Menciptakan batas-batas bagi hatinya yang masih polos untuk menjauhi mereka yang tidak pantas berada di kelasnya. Kuharapkan hari ini bisa tetap kuingat untuk mengatakan “tidak” pada pertanyaan itu nanti.


9 thoughts on “Anak itu masih terlalu kecil untuk mengerti

  1. Wah..kalau aku disitu pasti aku gendong bayi itu…akan kudekap sebentar..kuberi kehangatan sebentar…setidaknya kubagi makananku…SUNGGUH!

    Kadang sedih lihat nasib mereka…tapi hidup adalah hidup,mereka tak bisa memilih.Terlalu kejam buat mereka.

    Ya…karena itu aku juga tak pernah membedakan kaya dan miskin…bagiku apapun milik kita adalah titipan dari Tuhan,yang tanpa sadar kita merebut titipan kebahagian dari bayi-bayi miskin.

    yande : Hmm…, nasib, takdir atau apapun namanya memang diluar dari jangkakuan kita sebagai manusia untuk mencoba turut campur, di dalam posting ini saya pun tidak berpikir mengapa Tuhan begitu kejam memilih orang tua untuk si kecil itu.

    Dalam posting ini saya hanya memperlihatkan realitas dalam masyarakat kita yang sudah menduplikasi anak-anaknya yang masih polos akan perbedaan harta dan status sosial

  2. Alow Bli,

    Aduh kejadian yang seperti Bli kaji sudah terlampau banyak terjadi, hanya saja kita (bahkan saya) kadang terlewatkan begitu saja sehingga tinggalah cerita kosong tanpa makna dan hanya menarik simpul dari ujung saraf kejadian itu tanpa melihat bagaimana itu terjadi.

    Diakhir tulisan Bli yang saya rasa roh tulisan ini, adalah yang harus kita renungkan dan bagi kita yang telah bisa ‘menyimak suatu cerita yang runut’ bisa memberikan contoh kepada anak atau adik-adik kita, tentang bagaimana cara berteman tanpa harus melihat status sosialnya.

    Suksma Bli.

    yande: Nur, Tuhan memang memberi kita suatu pembelajaran dengan cara-caraNya yang misterius namun tidaklah serumit yang kita kira, tinggal kesadaran kita sekarang untuk mengetahui, mengerti, memahami dan melakukannya itulah hal yang sebenarnya rumit

  3. memang masih banyak kok, manusia yang berusaha membedakan dirinya dengan manusia lain. entah….mungkin karena ‘level’nya yang dianggap tinggi dari yg lain, atau bahkan sebaliknya. bisa itu intelektualitas, kekayaan, dll.
    dan itu akan selalu ada. paling tidak, kita bisa membekali anak2 kita untuk menghilangkan perasaan itu. dan mengajarkan, bahwa setiap manusia adalah sama, tanpa ada syarat apapun. dan itu yang berusaha kuajarkan pada anak2ku. ๐Ÿ™‚

    yande: memang manusia tidak ada yang tercipta sama, namun sebenarnya tetaplah sama, hanya manusia

  4. Secara tulus dan iklas tanpa beban itulah sosok anak kecil,perbedaan dan segala embel2nya terkadang kita para manusia dewasa tanpa sadar atau mungkin sengaja menorehkannya dan memberi cap pada kepolosan itu.Ada Banyak pembenaran dan alasan diantara semua, sekarang tergantung kita yang akan memilih dan memilah yang terbaik buat kita dan untuk mereka. ๐Ÿ˜€

    yande: yahh… memang begitulah, beginilah, begonolah

  5. Apa kabar Mas Yande…smoga Gusti Ingkang Akaryo Jagad selalu melimpahkan anugrah di Tahun 2009 ini, untuk Mas Yande sekeluarga dan seluruh pengunjung yg budiman di blog kontemplatif ini.

    JIKA kita ingin melihat hubungan antara MANUSIA dgn BUMI saat ini, lihatlah kejadian di atas. Peranan BUMI sudah terbalik bukan menjadi IBU PERTIWI yg menghangati kehidupan manusia. MANUSIA lah yg kini mengambil peran menjadi ibu, tetapi si ibu yg RAJA TEGA seperti dalam kisah. Di sisi lain Peranan Bumi tereduksi menjadi SI ANAK KECIL INGUSAN yg tidak mendapatkan haknya, selalu dimanipulasi, tidak mendapat kasih sayang manusia yg sudah mengkudeta bumi, dan berubah karakter menjadi si ibu Raja Tega.
    Bumi (anak) yg telah diperlakukan manusia (ibunya) sedemikian rupa, tinggal tunggu saatnya suatu waktu si anak akan membalas dendam, dengan cara melawan orang tuanya. Bumi tempat sandaran hidup manusia, suatu waktu akan berubah menjadi pembunuh manusia. Dan dalam dekade terakhir ini, bumi telah memulai pembalasan dendam kesumatnya atas ulah manusia.

    Hanya yg eling dan waspada saja yg akan selamat…
    Rahayu
    sabdalangit’s web

    yande: yang namanya “orang tua” (bumi) memang harus sabar menghadapi “anak”(insan), karena memang anak hanya mengerti nafsunya saja hanya saja bila si anak tidak bisa diberi peringatan maka hukuman yang akan mengingatkan. Semoga nama Ibu Pertiwi memang berarti sesabar dan penuh kasih seperti seorang Ibu ya Kang.
    Rahayu

  6. wah, saya sendiri kalau sebagai bli yande pasti hanya bisa merasa kasihan dan kebingungan, saya tidak yakin apakah saya akan meraih si kecil dan menenangkannya ๐Ÿ˜ฆ

    Memang ada hal2 yang kita sebagai orang dewasa harus belajar dari mereka anak2 kecil.

    yande: mencoba untuk berpikir polos dan apa adanya seperti anak kecil sebenarnya ngga susah hanya kita saja yang melihat itu menjadi seperti kurang dewasa *hayah.. bingung dah*

  7. Hem saya jadi membayangkan mereka Yande. Kasihan mereka yang memang harus menderita karena keadaan.
    Best regard,
    Bintang

    yande: semua ada hikmahnya mbak, bagi kita, bagi mereka, tinggal kita bisa mengerti Tuhan masih memanjakan kita maka jangan sampe terlarut dalam kemanjaan itu, salam buat pangeran ama rajiv ya

Leave a reply to kweklina Cancel reply